Oleh: Edy Zaqeus
Belum lama berselang seorang penulis buku dan pembaca seri artikel Write & Grow Rich di Pembelajar.com bertanya kepada saya soal cara menguhubungi penerbit. Penulis buku ini baru saja menyelesaikan naskah yang menarik dan diyakininya akan menjadi gebrakan khusus dalam dunia perbukuan. Kalau tidak salah, buku ini dia prediksi akan disambut baik oleh pasar karena belum pernah ada buku dengan format seperti yang dia gagas. Dengan catatan: itu akan terjadi apabila ide-ide dia untuk sekaligus membidani atau menjadi sutradara penerbitan buku tersebut diamini oleh pihak penerbit.
Hal semacam ini memang jamak terjadi. Saya juga baru saja menerima naskah dari seorang konsultan, yang bermaksud menerbitkan bukunya dalam format tertentu. Hampir sama dengan penulis di atas, konsultan ini menginginkan bukunya diformat sedemikian rupa sehingga bisa membawa dampak positif bagi karirnya sebagai konsultan. Selain itu, ia berharap supaya tampilan bukunya tampak lebih anggun, tidak terkesan murahan, dan punya pengaruh di kalangan profesional di mana dia berkecimpung selama ini.
Sekali lagi, harapan penulis buku seperti itu memang sah-sah saja. Saya sendiri pada awal-awal menekuni dunia penulisan buku, juga suka punya pandangan-pandangan dan harapan seperti tadi. Saat itu, saya selalu punya keyakinan penuh bahwa ide-ide sayalah yang terbaik dan sungguh-sungguh saya percayai akan memberi hasil terbaik pula. Namun, bersamaan dengan semakin banyaknya informasi yang bisa saya timba, langsung dari para penerbit dan editor senior, pengalaman sendiri sebagai penulis dan penerbit, termasuk pengalaman sejumlah penulis buku laris, saya mulai punya perspektif yang lebih lengkap.
Akhirnya saya berkesimpulan, bahwa penting bagi seorang penulis untuk bisa berpikir ala penerbit, terutama penerbit komersil. Sama seperti polisi yang ingin sukses menangkap seorang kriminal, polisi itu harus tahu cara berpikir atau logika orang yang dia buru. Jika tidak, bisa-bisa si polisi itu hanya mengejar angin, karena salah asumsi dan hanya menduga-duga ke mana si kriminal bersembunyi.
Nah, bagaimana penerbit berpikir terhadap setiap naskah buku yang dia terima? Bagaimana penerbit berpikir mengenai buku yang dia produksi? Inilah kisi-kisi logika penerbit bila dikaitkan dengan pasar:
Pertama, penerbit komersil tidak mau menerbitkan karya yang dia prediksi bakal jeblok di pasar. Penerbit hanya mau menerbitkan karya yang bermutu dan mendatangkan keuntungan. Dalam bahasa Wandi S. Brata (GM Produksi Gramedia Pustaka Utama), buku yang tinggi mutunya dan diprediksi bakal laku keras di pasaran adalah primadona penerbit. Naskah akan langsung dapat “lampu hijau” (baca artikelnya di: www.gramedia.com).
Mengapa demikian? Sebab, penerbitan buku adalah sebuah bisnis, sebuah industri, yang mana berlaku pula hukum-hukum ekonomi dan pasar. Jadi, dengan segala kemampuan teknis dan pengalamannya, biasanya penerbit akan berusaha keras mendapatkan naskah-naskah bermutu yang mereka prediksi akan sukses di pasaran.
Bagaimana dengan buku yang bermutu namun tampak kurang menarik di pasaran? Buku seperti ini pasti kena “lampu kuning”. Namun, memang ada sebagian penerbit yang bersedia menerbitkan naskah-naskah semacam ini. Terlebih bila naskah tersebut sesuai dengan visi, misi, dan nilai-nilai idealisme penerbit (ingat, tidak semua penerbit komersil mengabaikan sisi nilai dan idealisme). Akan tetapi kita harus sadar sejak awal, ruang untuk penerbitan buku jenis ini tidaklah lebar. Prasyarat mutu, kompetensi, kredibilitas dan popularitas penulis, barangkali akan semakin dituntut penerbit. Sementara persetujuan atau percepatan proses penerbitannya hanya bisa didapat manakala si penulis mampu meyakinkan idealismenya kepada penerbit, dan pihak penerbit pun harus merasa satu visi dengan si penulis.
Kedua, penerbit suka sekali naskah yang mudah atau sudah siap diproduksi. Maksudnya, jangan sekali-kali memasukkan naskah yang masih mentah, belum lengkap, atau amburadul editingnya. Ini akan membebani penerbit dengan cost tertentu serta memperlambat proses kerja mereka. Khususnya penerbit-penerbit besar dan mapan, setiap bulannya mereka bisa menerima ratusan naskah. Namun, tidak semua naskah tersebut siap diproduksi akibat kekurangan-kekurangan yang saya sebut tadi. Alhasil, hanya naskah yang mudah dan siap produksi saja yang biasanya dipilih.
Itu sebabnya, saya selalu menyarankan kepada para penulis buku maupun klien yang berkonsultasi kepada saya, untuk sabar dalam mempersiapkan naskahnya. Lebih baik mengalokasikan waktu yang cukup untuk merapikan dan melengkapi naskah, ketimbang mengirim naskah apa adanya. Dari sekian banyak kasus yang saya tangani, penerbit benar-benar menyukai naskah yang sudah lengkap, rapi, mudah dan siap diproduksi. Jadi, bila kita ingin naskah kita mudah masuk atau diterima penerbit, berpikirlah sebagaimana penerbit akan memandang dan memperlakukan naskah tersebut. Jangan percaya dengan pandangan bahwa asal naskah kita kualitasnya bagus, otomatis penerbit akan mau berlelah-lelah untuk memprosesnya.
Ketiga, tak peduli penerbit besar maupun kecil, mereka lebih menyukai naskah-naskah buku yang ditulis oleh para penulis yang punyabranding yang kuat. Gampangnya, penerbit suka dengan nama-nama yang populer karena ini punya efek terhadap promosi buku yang nantinya akan mereka produksi. Jadi, jangan berkecil hati bila penulis-penulis beken atau yang punya nama, atau tokoh-tokoh non-penulis yang populer sekali yang memnyusun buku, pasti dapat tempat.
Lalu, bagaimana dengan kita yang belum punya branding tertentu? Ya, mulailah mem-branding diri dengan aktif menulis di berbagai media atau saluran. Masuk media massa lebih strategis. Kalau pun belum bisa, masuki dunia internet dengan aktif di website-website populer atau membuat blog. Pokoknya, minimal kalau kita klik Google nama kita ada di sana.
Keempat, penerbit suka dengan penulis yang mau bahu-membahu menjual atau mempromosikan bukunya bersama penerbit. Sebab, anggaran penerbit untuk mempromosikan buku biasanya terbatas. Maklum, mereka banyak menerbitkan buku. Makanya, mereka pasti suka dengan penulis yang mau mempromosikan atau bahkan beriklan di media massa.
Jadi, jika kita memiliki kemampuan untuk mempromosikan buku kita nantinya, baik melalui iklan, promosi seminar, mailling list, iklan di website atau blog pribadi, termasuk melakukan penjualan langsung, sampaikan saja itu semua ke penerbit. Ini benar-benar disukai penerbit.
Nah, pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan kita yang memiliki keterbatasan resourches untuk memenuhi pikiran-pikiran penerbit tersebut? Kalau logika mereka seperti itu, bagaimana dengan misi-misi idealisme penerbit? Apakah sudah hilang sama sekali?
Jawaban saya, kita punya banyak pilihan penerbit. Memang, kebanyakan penerbit mapan akan menggunakan logika tersebut dalam menerima naskah. Maklum, ini juag semacam sistem seleksi untuk memudahkan cara kerja mereka serta untuk mendapatkan hasil maksimal. Lagi-lagi ingat, mereka adalah institusi bisnis yang menjadikan profit sebagai kiblatnya.
Namun, tidak semua penerbit memiliki logika semacam itu. Tak sedikit penerbit yang sungguh-sungguh idealis dan mau berlelah-lelah untuk mempertimbangkan naskah bagus, tapi masih memiliki sejumlah kekurangan. Walau begitu, saya tetap punya keyakinan, bahwa penerbit idealis sekalipun pasti lebih senang bila para pemasok naskahnya mau berpikir ala penerbit komersil.[ez]
* Edy Zaqeus adalah penulis buku-buku best-seller, konsultan penulisan & penerbitan, editor Pembelajar.com, dan trainer di Proaktif Training & Organizing. Ia juga mendirikan Bornrich Publishing dan Fivestar Publishing yang berhasil menerbitkan sejumlah buku best-seller.
KENAPA TIDAK BELI BUKU DI GRAMEDIA ?
BalasHapusKarena toko buku Gramedia lebih takut kepada ormas tertentu daripada kebebasan berpendapat. Jangan heran bila tulisan Anda bertema polisi, kesehatan organ seksual, larangan aborsi, lesbian, lumpur lapindo, tokoh tertentu, syiah, ahmadiyah, horor, akan ditolak mentah mentah sekalipun sudah dicetak dengan biaya tinggi.
Bahkan beberapa tema buku dengan judul tertentu juga dilarang terbit dengan alasan tidak masuk akal yang mereka buat-buat sendiri. Contohnya buku berjudul Chaerul Tanjung ternyata mereka proteksi agar tidak ada penerbit lain yang menulis tentang sosok tersebut. Sementara mereka menangguk keuntungan miliaran rupiah dari buku tersebut.
Toko buku Gramedia juga melakukan praktik monopoli (antitrust) dalam dunia perbukuan. Menguasai kurang lebih dari 60% omzet dalam bisnis perbukuan non buku pelajaran. Parahnya lagi, toko buku ini juga melakukan monopoli terhadap hampir semua penerbit eksternal yang berjumlah ribuan dalam hal tampilan (display) di rak. Pintu masuk toko buku mereka hanya dipenuhi oleh judul-judul terbitan mereka sendiri, menyingkirkan penerbit self publishing yang kecil.
Sudah seharusnya negara atau Komisi Persaingan Usaha (KPPU) menjewer toko buku ini. Menghukumnya karena melakukan banyak praktik yang menghambat perkembangan dan pertumbuhan daya baca masyarakat Indonesia.
Sudah saatnya toko buku Gramedia yang telah menggurita ini dibatasi gerakannya, dan memberi kesempatan yang berimbang kepada toko buku lainnya untuk berkompetisi secara sehat.
Perhimpunan Penerbit Buku Indonesia (PPBI)